Senin, 11 Mei 2009

Lagu Ujung Ni Ngolungkon

lagu Yang Terbaik... menurutku

Download Disini

Senin, 27 April 2009

Kamus Bahasa Batak

Mau Belajar Bahasa Batak Secara Aktif...



Download aja disini

Kamis, 23 April 2009

RAJA DATU NA BOLON SILITONGA

Pasti Timbul Pertanyaan kenapa hanya Marga Silitonga keturunan dari Tuan Dibangarna tidak tinggal bersama di Balige.
Cerita dari Nenek Moyang (Opung) mengatakan bahwa kepergian marga Silitonga dari Balige dikarenakan Kasih Sayang nya terhadap adiknya Sianipar.

Suatu Hari Tuan Dibangarna membagi semua harta warisannya kepada ke 3 anaknya, yaitu : Panjaitan,Silitonga,Siagian, yang mana pada saat itu Sianipar belum lahir.

Setelah beberapa tahun kemudian,lahirlah Raja Sianipar. Dan Ketiga Abangnya senang mendengarkan lahirnya Raja Sianipar.

Setelah Dewasa,Raja Sianipar pun bertanya kepada bapaknya Tuan Dibangarna "Mana Bagian untukku dari harta mu bapak", lalu Tuan Dibangarna pun berkata "Semua hartaku sudah kubagi kepada 3 abangmu, dan mintalah kepada abang-abangmu".

Dengan Sedih, lalu Sianipar pergi untuk meminta bagian harta orangtua mereka kepada ketiga Abangnya.

Sianipar bertanya kepada abangnya Raja Panjaitan, "Abang Berikan sedikit bagian harta yang telah diberikan orangtua kita kepadaku", tapi Raja Panjaitan Berkata "Tidak ada lagi, karena sudah kuberikan kepada anak-anakku". Lalu dengan rasa kecewa Sianipar pergi ke Abangnya Raja Siagian, dan bertanya "Abang Berikan sedikit bagian harta yang telah diberikan orangtua kita kepadaku", tapi Raja Panjaitan berkata "Tidak ada lagi, karena sudah kuberikan kepada anak-anakku". Dengan kecewa dan menangis Raja Sianipar pergi dan tanpa diketahui oleh Raja Sianipar ternyata didengarkan oleh abangnya Raja Datu Na Bolon Silitonga.

Raja Datu Na Bolon Silitonga memanggil Adiknya Raja Sianipar. Dengan isak tangis Raja Datu Na Bolon Silitonga berkata "Kenapa engkau menangis adik ku?", "Bapak kita tidak meninggalkan harta warisannya kepadaku, kenapa dia tidak memberikannya kepadaku?". Lalu dengan Senyum Raja Datu Na Bolon Silitonga berkata "Hanya itu kah yang kamu tangiskan adik ku ? hanya karena harta warisan orang tua kita ?". Dengan isak tangis Raja Sianipar menganggukkan kepalanya.

"Adik ku, jangan kamu tangiskan yang sudah ditetapkan orangtua kita, dan janganlah kamu terlalu banyak menuntut, tapi kalau hanya itu yang kamu tangiskan,ambillah semua bagian harta warisan yang diberikan orangtua kita kepadaku, dan akan aku carikan untuk diriku dan keturunanku, tapi engkau dan keturunan mu jangan pernah melupakan akan semua hal yang pernah ku berikan kepadamu". Raja Sianipar berkata " Jadi apa yang abang dapat dari bagian Harta Warisan Orangtua kita? Raja Datu Na Bolon Silitonga Berkata "aku akan pergi dari tanah ini dan mencari di tempat lain adikku". Sang Adik pun senang tapi masih terisak-isak melihat perlakuan dari abangnya ini berbeda dengan perlakuan dari abang-abangnya yang lain.

Lalu beberapa hari kemudian setelah Raja Datu Na Bolon Silitonga beserta Isterinya Br.Lubis, mengatakan Maksud dan tujuan kepada bapaknya Tuan Dibangarna tentang pemberian harta bagiannya untuk adiknya dan mencari bagiannya di tanah perantauan.

Pergilah Raja Datu Na Bolon Silitonga dengan di ikuti oleh keturunan dari Raja Simanjutak, Raja Panjaitan, Raja Tampubolon, Raja Pardede Ke Huta Sipahutar untuk membuka kampung baru.

Dengan ke empat saudaranya, Raja Datu Na Bolon Silitonga Ke Huta Sipahutar, ternyata di kampung/huta tersebut sudah ditempati oleh marga Sipahutar. Dengan kekuatan Datu/Dukun nya, maka Raja Datu Na Bolon Silitonga Menyerang Huta Sipahutar untuk mengusir Semua Marga Sipahutar Dari Kampung Tersebut. Dan Sampai Dengan Sekarang Huta/Kampung Sipahutar dihuni Oleh Marga SILITONGA

Demikianlah Cerita yang diberikan oleh Natua-tua (Orang Tua), kenapa Raja Datu Na Bolon Silitonga Pindah Ke Sipahutar.


Maaf apabila ada penulisan yang salah atau penghinaan kepada saudara/i yang membaca tulisan ini.


Terimakasih

Legenda Sigale-gale



Dahulu kala ada seorang Raja yang sangat bijaksana yang tinggal di wilayah Toba. Raja ini hanya memiliki seorang anak, namanya Manggale. Pada zaman tersebut masih sering terjadi peperangan antar satu kerajaan ke kerajaan lain.

Raja ini menyuruh anaknya untuk ikut berperang melawan musuh yang datang menyerang wilayah mereka. Pada saat peperangan tersebut anak Raja yang semata wayang tewas pada saat pertempuran tersebut.

Sang Raja sangat terpukul hatinya mengingat anak satu-satunya sudah tiada, lalu Raja jatuh sakit. Melihat situasi sang Raja yang semakin hari semakin kritis , penasehat kerajaan memanggil orang pintar untuk mengobati penyakit sang Raja, dari beberapa orang pintar (tabib) yang dipanggil mengatakan bahwa sang Raja sakit oleh karena kerinduannya kepada anaknya yang sudah meninggal. Sang tabib mengusulkan kepada penasehat kerajaan agar dipahat sebuah kayu menjadi sebuah patung yang menyerupai wajah Manggale, dan saran dari tabib inipun dilaksanakan di sebuah hutan.

Ketika Patung ini telah selesai, Penasehat kerajaan mengadakan satu upacara untuk pengangkatan Patung Manggale ke istana kerajaan. Sang tabib mengadakan upacara ritual, meniup Sordam dan memanggil roh anak sang Raja untuk dimasukkan ke patung tersebut. Patung ini diangkut dari sebuah pondok di hutan dan diiringi dengan suara Sordam dan Gondang Sabangunan.

Setelah rombongan ini tiba di istana kerajaan , Sang Raja tiba-tiba pulih dari penyakit karena sang Raja melihat bahwa patung tersebut persis seperti wajah anaknya.

Inilah asal mula dari patung Sigale-gale (Patung putra seorang Raja yang bernama Manggale).
SUMBER : SAMOSIR

Jumat, 03 April 2009

KOMUNITAS ORANG BATAK

KOMUNITAS ORANG BATAK

Dimana orang BATAK berkumpul, secara otomatis membicarakan tentang partuturan atau tarombo. Hal ini disebabkan struktur kekerabatan yang ketat di antara orang batak.

Beberapa komunitas yang sering dilakukan oleh orang batak pada umumnya di seluruh Dunia antara lain :

1. Perkumpulan Marga (Punguan Marga)
Perkumpulan Marga (Punguan Marga) ini dilakukan oleh sekelompok orang batak di suatu daerah yang prioritas utamanya adalah menjalin kekerabatan yang lebih akrab lagi. Punguan Marga ini cenderung jauh pada unsur-unsur POLITIK. Punguan Marga ini juga berfungsi sebagai pemberi informasi berupa adat dan budaya yang berlangsung di marga. Punguan Marga, biasanya merupakan punguan (kumpulan) dari Anak,Boru,Bere dan Ibebere. contohnya seperti PUNGUAN SIMANJUNTAK SITOLU SADA INA DOHOT BORUNA (PSSSI & B), PUNGUAN POMPARAN RAJA SILITONGA DOHOT BORUNA, DSB.Punguan Marga ini banyak ditemukan di Kota Medan.

2. Perkumpulan Kebaktian Gereja (Partangiangan)
Perkumpulan Kebaktian Gereja (Partangiangan) ini dibuat berdasarkan komunitas dari gereja tempat melaksanakan kebaktian. Komunitas Partangiangan ini lebih banyak menyinggung tentang pemberitaan INJIL, dan dilakukan di tiap rumah masing-masing ruas (jemaat) dari gereja yang mengadakan Partangiangan. Kumpulan Partangiangan inilah yang paling besar dan paling banyak dijumpai di DUNIA. Contohnya seperti : Partangiangan Sektor IV Gereja HKBP Pardamean Medan, Partangiangan WEK I Gereja GKPI Perumnas Mandala Medan, dan masih banyak lagi

3. Pesta Adat
Perkumpulan komunitas dalam pesta adat ini dilakukan hanya dalam menjalankan adat, diantaranya ADAT PERNIKAHAN, ADAT KEMATIAN, dan lain sebagainya. komunitas ini dilakukan atau diperbuat agar setiap orang batak mampu untuk mengerti tentang adat dan budaya batak

Dari beberapa Komunitas Orang Batak di atas yang paling dikenal oleh orang banyak adalah komunitas Partangiangan, hal ini disebabkan perkumpulan tersebut terdiri dari banyak marga yang bergabung dan hanya membicarakan 1 hal yaitu INJIL.

Minggu, 22 Februari 2009

UNDANGAN

Dengan Penuh rasa syukur atas Kasih dan Karunia Tuhan kami bermaksud menyelenggarakan Resepsi Pesta Pernikahan kami yang akan di adakan pada :

Hari : Sabtu
Tanggal : 7 – Maret – 2009
Pukul : 12.30 s/d Selesai
Bertempat : Wisma Karunia
Jl.G.Krakatau/Psr III No 68 Medan


Kesan yang dalam akan terukir dihati kami apabila Bapak/Ibu/Sdr/i, berkenan hadir dan memberikan doa restu kepada Kami dalam menempuh Hidup Baru.


Atas Kehadiran dan Doa Restunya,kami ucapkan terimakasih


Kami Yang Berbahagia

LEO & ROULI

FALSAFAT TENTANG PARTUTURAN

FILSAFAT TENTANG PARTUTURAN

HoRaS HaBaTaKoN !

FILSAFAT TENTANG PARTUTURAN

A. Pengertian Partuturan

Adapun yang dinamai "partuturan" ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT (Dalihan Na Tolu). Sesuai dengan adanya 3 unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan pun ada tiga, yaitu:

1. Hubungan kita dengan "dongan sabutuha".

2. Hubungan kita dengan "hulahula".

3. Hubungan kita dengan "boru".

Sudah barang tentu kita harus menjaga dan memelihara agar ketiga macam hubungan itu selalu berjalan dengan baik dan sempurna.

Ada 2 buah filsafat Batak tentang itu:

1) "Habang binsusur martolutolu,
Malo martutur padenggan ngolu."

Artinya: Kebijaksanaan menghadapi ketiga unsur DNT akan memperbaiki penghidupan.

2)"Habang sihurhur songgop tu bosar,
Na so malo martutur ingkon maos hona osar.

Artinya: Kebodohan, kelalaian dan keserakahan dalam menghadapi ketiga unsur DNT akan membuat orang tergeser-geser. Maksud "tergeser-geser" (bahasa Batak "hona osar') ialah terpaksa berpindah-pindah tempat, karena tak disukai orang, akibatnya melarat.

Berhubung dengan kedua filsafat itu, maka nenek moyang orang Batak meninggalkan 3 buah petuah atau pesan untuk keturunannya, sebagai berikut:

1) "Manat mardongan tubu."

Pada waktu ini acap kali diperlengkapi dan berbunyi: "Molo naeng ho sanggap, manat ma ho mardongan tubu." Artinya : Jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan "dongan sabutuha" (teman semarga).

Keterangan tentang pesan pertama ini sebagai berikut.

Adapun "dongan sabutuha" itu dipandang oleh orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam pergaulan antar mereka sehari hari tidak dihiraukan segi basa basi, sehingga adik acap kali tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap paktua dan pakciknya, hal mana acap kali menimbulkan perasaan kurang senang di pihak yang merasa dirugikan. Maka untuk menghindarkan itu diberilah oleh leluhur kita pesan yang tersebut di atas, agar kita hati-hati menghadapi "dongan sabutuha" kita. Untuk itu harus kita periksa dahulu kedudukan "dongan sabutuha" itu dalam "tarombo" (tambo, silsilah keturunan terhadap kita). Pada waktu ini tidak sulit lagi memeriksa hal itu. Tiap orang Batak yang tahu "tarombo"nya mengetahui tingkat generasinya pada "tarombo"-nya itu. Misalnya "dongan sabutuha" kita itu bertingkat generasi 16 dan kita sendiri tingkat 17, maka ia masuk golongan ayah kita. sehingga ia harus kita hormati sebagai ayah kita sendiri. Kalau ada jamuan makan janganlah kita mempertahankan tempat duduk kita di "juluan" (tempat terhormat) kalau nampak seorang "dongan sabutuha" dari golongan lebih tinggi (abang, ayah atau nenek) belum mendapat tempat yang layak, tetapi kita harus mempersilakan dia. duduk di tempat duduk kita sendiri, sekalipun menurut umur, kita lebih tua dari dia.

Dalam hal kita lebih tua dari dia, maka "dongan sabutuha" itu yang tentu juga mengetahui pesan leluhur kita itu, tidaklah akan gegabah terus menerima ajakan kita itu, tetapi dengan spontan ia akan menolak serta berkata, "Ah, tidak, yang tua-tua harus di hormati, tinggallah di situ, terimakasih." Dalam pada itu ia sudah senang dan puas karena penghormatan kita itu. Dalam hal musyawarah pun atau pada rapat menyelesaikan perselisihan hendaklah kita selalu mengindahkan betul-betul basa-basi terhadap "dongan sabutuha". Dengan jalan demikian maka semua "dongan sabutuha" akan selalu solider atas tindakan tindakan kita dan akan menghormati dan menghargai kita dengan sewajarnya; hal ini berpengaruh juga kepada orang disekeliling kita.

2) "Somba marhulahula".

Biasanya diperpanjang dan berbunyi: "Molo naeng ho gabe, somba ma ho marhulahula." Artinya : Jika engkau hendak "gabe" (berketurunan banyak) hormatilah "hulahula"-mu. Keterangannya : Untuk orang Batak maka "hagabeon" lah yang paling diharapkan dan dicita-citakan. Tanpa keturunan ia tak mungkin berbahagia. Hal itu terang nampak pada pantun Batak :


"Hosuk humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru;
Porsuk nina porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru".

Artinya : Penderitaan yang, paling berat ialah tidak berketurunan.

Adapun "hulahula" itu dipandang oleh orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat berkuasa untuk mendoakan "hagabeon" dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah menjadi darah daging bagi orang Batak berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Itulah yang membuat penghormatan tinggi dan menonjol terhadap "hulahula". Juga dalam hal penyelesaian perselisihan dengan "hulahula", penghormatan itu tetap dipertahankan sebagaimana nampak dengan jelas pada suatu sebutan khas Batak, yang berbunyi "Sada sala niba, pitu sala ni hulahula, sai hulahula i do na tutu". Artinya : Walau ada 7 buah kesalahan "hulahula" dan salah kita hanya satu, maka "hulahula" itulah selalu dipihak yang benar. Maksudnya : Kita harus selalu mengalah terhadap "hulahula", karena walaupun nampaknya kita menderita rugi, namun akibatnya selalu menguntungkan kita, karena walaupun "hulahula" itu kita buat menang dalam perselisihan itu sehingga ia mendapat keuntungan materi, namun ada lagi sebuah sebutan khas Batak yang bunyinya, "Anggo tondi ni hulahula i sai tong do mamasumasu iba". Artinya : Namun, roh "hulahula" itu tetap mendoakan kebahagiaan untuk kita. Dan menurut filsafat Batak: Roh atau jiwa itu lebih berkuasa dari badan.


Buat orang Batak yang taat beragama tidaklah berat untuk menuruti sebutan yang tertulis di atas, karena dalam ajaran Alkitab tertulis, "Memaafkan kesalahan orang lain tidak cukup hanya satu kali atau 7 kali, tetapi 70 kali 7, artinya tentu terus menerus".

3) "Elek marboru".

Biasanya diperpanjang: "Molo naeng ho mamora, elek ma ho marboru." Artinya : Kalau ingin kaya, berlaku membujuklah terhadap "boru".

Keterangan: Sebenarnya menurut 'adat Batak, "boru" itu dalam hubungan kekeluargaan berada di bawah kita, sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu. Namun anjuran leluhur Batak ialah agar permintaan-permintaan kita kepada "boru" sekali-kali tak boleh menyerupai perintah tetapi harus berupa dan bersifat bujukan. Leluhur Batak tahu benar bahwa bujukan lebih kuat daripada paksaan dan selain itu bujukan itu dapat tetap memelihara kasih sayang di antara "boru" dan "hulahula", yang tidak dapat dicapai dengan paksaan. Maka dengan bujukan besarlah harapan kita akan memperoleh semua yang kita minta dari boru kita, yang membuat kita kaya. Perkataan "kaya" di sini harus diartikan "perasaan kaya", yang maksudnya "perasaan senang". Dan memang orang yang merasa senanglah yang paling kaya di dunia ini dan bukanlah dengan sendirinya yang memiliki uang atau harta yang terbanyak.


Dalam hal adanya perselisihanpun dengan "boru", maka hal membujuk inipun harus dipertahankan karena pengaruh dan akibatnya ialah: boru itupun dari pihaknya akan menuruti pesan nenek moyang "somba marhulahula" tersebut diatas, sehingga. penyelesaian persengketaan dapat tercapai dengan mudah dan dalam suasana yang harmonis.

4) "Molo naeng ho martua di tano on, pasangap me natorasmu."

Artinya: Jika kamu ingin berbahagia. di dunia ini, hormatilah orang tuamu.

Adapun petuah ini boleh dikatakan hanyalah tambahan dari ketiga pesan pertama yang tersebut di atas dan baru menonjol setelah banyak orang Batak memeluk agama Kristen atau Islam. Kita maklum, bahwa agama memerintahkan kepada manusia menghormati orang tuanya seperti yang telah dituliskan oleh Nabi Musa dalam Kitabnya yang kelima pasal 5 ayat 16, yang berbunyi: "Hormatilah orang tuamu, supaya umurmu lanjut dan selamatlah kamu dalam negeri yang dikaruniakan Tuhan Allah kepadamu."


Nasehat nenek moyang orang Batak hampir sama bunyinya, dengan perintah Allah itu, yaitu :

"Tinaba hau toras bahen sopo tu balian,
Na pantun marnatoras ingkon dapotan parsaulian,
Alai na tois marnatoras, olo ma i gomahon ni babiat."

Artinya : Yang menghormati orang tuanya akan menerima kebahagiaan, tetapi yang durhaka terhadap orang tuanya mungkin akan diterkam harimau.

Dalam hal nasihat.yang ke-4 ini agama dan adat kedua-duanya bersifat saling mendukung satu sama lain. Tentang arti luas dari perkataan: "natoras" (orang tua), maka pendapat ahli-ahli agama dan nenek moyang orang Batak sesuai benar, yaitu: di samping ibu dan ayah-kandung harus juga kita hormati guru-guru, pemimpin-pemimpin, pemerintah dan semua orang tua-tua pria dan wanita. Tentang penghormatan terhadap orang tua yang telah meninggal telah dibahas dalam. "Dapatkah DNT bertahan sampai akhir zaman ?"

Nasehat No. 4 inilah yang paling utama harus diperhatikan oleh para pemuda dan pemudi pada zaman sekarang ini. Dengan tidak mengindahkan nasehat ini, tidak mungkin tercapai kebahagiaan yang lama di dunia ini.

Di samping yang telah dipaparkan di atas, maka "partuturan" itu mempunyai lagi peraturan-peraturan lain yang juga harus diperhatikan dan dituruti untuk menjaga dan memelihara hubungan baik antara ketiga unsur DNT, yaitu yang dinamai peraturan "parsubangonjo".

B. Pengertian Parsubangon

Adapun yang dimaksud dengan peraturan "parsubangon" ialah peraturan-peraturan pantangan (parsubangon = yang dipantangkan). Tujuannya ialah menertibkan anggota-anggota keluarga terlebih-lebih yang berlainan jenis kelamin dalam pergaulan sehari-hari agar pergaulan itu tetap berjalan di atas rel yang telah ditetapkan oleh peraturan-peraturan DNT dan terutama mengenai penghormatan terhadap' "hulahula" dan terhadap orang tua. Misalnya, kita dengan istri saudara lelaki istri kita (bahasa Bataknya "bao" tidak boleh berbicara secara. bebas, apa lagi bersenda guraur. Apa sebab? Saudara istri kita itu adalah "hulahula" yang paling dekat kepada kita. Maka istrinya pun harus menerima penghormatan sebagai "hulahula", malahan harus lebih daripada yang biasa karena dia itu adalah seorang wanita dah tentang "Ina" (ibu) filsafat Batak berbunyi :


"Sada sangap tu ama, dua sangap tu ina."

Artinya : Satu penghormatan terhadap bapak, tetapi dua terhadap ibu.


Maksudnya : Di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak, maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam rumah tangga orang Batak.


Terhadap istri adik laki-laki kita pun kita harus berlaku sama seperti terhadap "bao" tersebut, sesuai dengan filsafat Batak:


"Marboras ia singkoru, marmutik ia timbaho,
Dos do na maranggi boru dohot halak na -marbao."

Artinya : Penghormatan terhadap istri adik kita sama dengan penghormatan terhadap istri saudara lelaki istri kita.

Tentang penghormatan terhadap istri adik kita itu, orang luar mungkin heran dan bertanya, "Kenapa begitu, bukankah istri adik kita itu tidak termasuk "hulahula", malahan adik kita itu dalam adat berada di bawah kita dan tentu istrinya pun demikian juga?". Pertanyaan itu memang beralasan benar, karena penghormatan terhadap "anggiboru" (sebutan dalam bahasa Batak untuk istri adik) itu nampak berlawanan dengan yang diperkirakan. Ini memang benar karena itu perlu diberikan penjelasan ringkas.


Adapun kita (diri kita) bukanlah hanya abang dari adik saja, tetapi juga berfungsi sebagai ayah baginya, terlebih-lebih kalau ayah kita telah meninggal. Oleh karena itu istri adik kita itu tidak boleh kita pandang hanya sebagai adik saja, tetapi harus lebih dari itu menurut fungsi kita sebagai "ayah" suaminya (mertuanya), jadi memandangnya sebagai menantu penuh; perhubungan ini termasuk golongan "parsubangon"

Sudah barang tentu ketertiban pergaulan tersebut diatas bertujuan juga untuk menjauhkan kemesuman yang sering mengancam keluarga-kelarga Batak dahulu kala, oleh karena rumah-rumah biasanya didiami oleh empat atau lima rumah tangga (dalam bahasa Batak "ripe") dan rumah-rumah itu tidak mempunyai kamar-kamar, sehingga ketertiban didalamnya antara keluarga-keluarga itu bulat-bulat terserah kepada kesadaran ber-DNT.

Sudah barang tentu sudah ada sangsi-sangsi, terhadap orang, yang melanggar ketertiban itu berupa hukuman-hukuman berat. Tetapi disamping itu, untuk mencegah pelanggaran atas ketertiban hidup itu, ada juga kutukan yang berbunyi :


"Habang pidong pua manjoloani sidaodao,
Sai mangunsisi do nasa tua sian jolma na so marpaho,
Sipalea natuatua na so umboto adat marbao."

Artinya : Segala tuah akan menyisih (lari) dari orang yang tidak memperdulikan sopan santun dan yang tidak menghormati orang tua dan tidak tahu adat terhadap "bao"

Pada zaman dahulu "parsubangon" luar biasa hebatnya. Seorang ibu yang hendak memberi tahukan kepada "bao" nya, bahwa makanan telah menunggu "bao" nya itu, tidak akan menujukan panggilannya langsung kepada "bao" nya itu, tetapi kepada tiang rumah dan akan berkata "E tiang, makanlah."

Pada zaman sekarang ini hal serupa itu tidak kedapatan lagi. Orang telah mengubahnya dengan cara biasa, tetapi deagan penuh sopan santun.


C. Perkembangan Partuturan

Adapun yang menjadikan adanya "partuturan" itu sebenarya hanya dua dasar, yaitu: 1) Semarga, dan 2) Tidak semarga.


Yang pertama (semarga) menjadikan "pardongan sabutuhaon" (hal berteman semarga) dan yang kedua (tidak semarga) menjadikan "parhula ianakkonon" (hal ber "hulahula" dan ber "boru"). Diantara kedua golongan "partuturan" itu maka "pardongan sabutuhaon" lah yang tetap (abadi) dan tak dapat hapus atau hilang, sedang "parhula ianakkonon" dapat luntur dan pudar jika tidak diulang-ulang oleh generasi-generasi yang berikut dan dapat lenyap kalau terjadi perceraian antara suami istri. Namun "parhula ianakkonon" itu sama saja kedudukannya dalam DNT dengan "pardongan sabutuhaon".

Perbedaan yang unik antara kedua macam hubungan kekeluargaan itu ialah: "pardongan sabutuhaon" boleh dikatakan statis (tak berubah) yaitu kalau saya bermarga Nababan maka hanya orang-orang yang bermarga Nababanlah "dongan sabutuha" saya. Lain halnya dengan "hulahula" dan "boru" yang keduanya berkembang-dengan cepat dan pesat. Ingatlah, bahwa tiap kali ada pesta perkawinan dalam lingkungan keluarga kita berarti perluasan kekeluargaan kita, yaitu bertambahnya "hulahula" dan "boru".

Keunikan lain lagi dalam hal ini ialah, perkembangan itu kadang-kadang dapat juga kita atur menurut kehendak kita. Misalnya, pada saat ini dengan perkawinan anak-anak saya dengan famili yang lain, saya telah berhubungan keluarga (ber"hulahula" dan ber"boru") dengan marga-marga Simanjuntak, Siregar, Siahaan, Hutabarat, Silitonga dan lain-lain marga lagi, tetapi belum dengan marga Tobing dan saya kepingin benar berhubungan keluarga dengan marga Tobing itu, karena ada perlunya. Apa daya? Mudah saja. Saya ajak seorang di antara anak-anak saya atau anak-anak saudara-saudara saya (yang dekat atau yang jauh) kawin dengan seorang putra atau putri marga Tobing dan tercapailah keinginan saya itu.

Dimanakah batas-batas "partuturan" itu?

Pertanyaan itu pernah diajukan oleh seorang bangsa asing yang sangat kagum melihat luasnya "partuturan" Batak itu, kepada penulis, lalu penulis menjawab," Ada filsafat Batak tentang itu bunyinya sebagai berikut :

Poda do sibahen na sursuran;
Roha do sibahen dao ni partuturan.

Artinya : Pelajaran-pelajaran yang diterimalah menentukan kepandaian seseorang dan hatilah yang menentukan batas-batas "partuturan". Maksudnya : kemauan dan suka hati oranglah yang menentukan batas-batas "pertuturan" nya. Mau luas bisa, mau sempit boleh juga. Dengan sempit dimaksud hanya famili dikenal saja. Kalau dikatakan luas, maka turutlah semua famili yang belum dikenal dan yang belakangan inilah yang paling banyak. Dapatlah kita bayangkan betapa banyaknya jumlah itu, bila kita ingat bahwa "hulahula" dan "boru" semua teman sermarga kita turut menjadi "hulahula" dan "boru" kita.

Selain itu ada lagi cara yang sangat unik khas Batak, untuk memperluas bidang kekelurgaannya. Di bawah ini diberikan beberapa buah contoh :


A dan B, sama-sama orang Batak, duduk berdampingan dikereta api. Kedua-duanya adalah orang Batak totok (artinya dapat mencium atau mempunyai firasat bahwa kawan yang duduk di sampingnya itu pasti orang Batak juga). Si A bertanya : "Apa marga saudara?"

"Siregar," sahut si B. Kebetulan si A pun bermarga Siregar juga, lalu bertanya lagi, "Tingkat berapa keluarga saudara?" Jawab si B, "Tingkat delapanbelas (18)". Mendengar itu berkatalah si A. "Kalau begitu saya nenekmu karena keluarga saya tingkat enambelas."


Hubungan kekeluargaan yang baru saja ditetapkan itu tidak tinggal teori saja, tetapi terus dipraktekkan dengan serius. Mereka itu bersama-sama pergi minum kopi. Waktu tiba saatnya membayar, maka tidaklah terjadi seperti pemeo Batak, "Tan taran tante, Masi garar kopina be"

Artinya: Masing-masing membayar kopinya.


Tetapi dengan segera si B membuka dompetnya dan membayar kopi mereka berdua. Kenapa si B membayar? Karena dia merasa bahwa dia adalah "cucu" si A dan harus menghormati "neneknya" si A itu sesuai dengan peraturan DNT.


Contoh kedua :

Dalam hal ini si A dan si B berlainan marga. A bermarga Nababan dan B bermarga Siregar. Maka terjadilah pembicaraan berikut. Karena si A lebih tua maka menurut peraturan DNT dialah yang berhak membuka pembicaraan. Katanya, "Santabi, lae. Halak hita do hamu?" (Maaf saudara. Orang kitakah saudara?) Jawab si B, "Ba i do." (Ya begitulah) Si A melanjutkan, "Antong, Jolo hutiptip ma sanggar bahen huruhuruan, Jolo husungkun ma marga, asa binoto partuturan."


Artinya : Kalau begitu, saya tanyalah dahulu marga saudara, agar saya dapat menentukan "partuturan" kita.


Sahut si B, "Siregar do ahu." (Saya Siregar).


Mendengar itu si A agak bingung sebentar karena dia sendiri adalah marga Nababan, dan di antara familinya yang dekat di kampungnya tak ada seorang pun yang bermarga Siregar. Namun dia perlu mengetahui hubungan famili dengan temannya seperjalanan itu, agar selama perjalanan itu dia dapat bergaul dengan si B. Lalu di perasnya otaknya mengingat, apakah ada di antara familinya yang banyak itu yang bermarga Siregar. 0 ya, benar di Padangsidempuan ada seorang marga Nababan beristri putri Siregar. Sebenarnya hubungannya dengan teman semarganya yang di Sidempuan itu sudah jauh di atas, tetapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi si A, karena menurut peraturan DNT, dia berhak penuh menyebut orang itu adik atau kakaknya. Maka dengan muka berseri-seri dia berkata kepada si B, "Bo, syukurlah, saudara adalah "hulahula" saya, karena ada saudara saya di Sidempuan yang beristri boru Siregar. Horaslah, "tulang" (mamak)." Sahut si B, "Kalau begitu syukurlah. Horas ma, amangboru (amangboru ialah panggilan terhadap bapak suami saudara perempuan. kita ataupun suami dari saudara perempuan ayah kita).".


Juga dalam hal ini A dan B memandang hubungan kekeluargaan yang baru itu serius dan terus dipraktekkan. Ketika mereka pergi ke warung kopi untuk minum, si A mempersilakan si B duduk di tempat yang paling baik. Mula-mula karena merasa dirinya lebih muda, si B menolak walaupun dia tahu bahwa dia boleh menerima tawaran itu sebagai "hulahula". Tetapi si A mempertahankan ajakannya, katanya, "Tidak mamak, kita baru kali ini berkenalan, karena itu kita harus menurut benar-benar peraturan adat DNT. Pada waktu membayar kopipun si A menmperlihatkan ketaatannya terhadap peraturan DNT dan membayar kopi mereka berdua. Selanjutnya mereka itu terus menerus berpegang pada hubungan kekeluargaan itu, bukan hanya selama perjalanan kali itu, tetapi juga di tempat-tampat lain dimana saja mereka bertemu.


Sekian penerangan tentang "partuturan".



http://www.geocities.com/mnhkbp/links/partuturan.htm